
Rasanya sudah lama sekali kita mendapatkan istilah kebutuhan primer manusia terbagi menjadi tiga. Sandang, pangan, dan papan. Bagi mereka yang mengaku milenial, ini bukanlah hal yang baru atau bahkan bukan hal penting. Karena saat ini kebutuhan primer tidak sebatas tiga hal tersebut.
Berbicara kebutuhan primer, sandang dan pangan, telah menjadi bagian terpenting. Dua hal utama yang secara tidak langsung menjadi gaya hidup kita sehari-hari. Namun, tidak demikian dengan papan. Kebutuhan hunian kini mulai bergeser menjadi ‘asal nyaman dan dekat kantor’. Hunian bukan lagi menjadi hal utama untuk dimiliki.
Terlebih bagi mereka, milenial yang sibuk meniti karier dan menjajaki kehidupan sosial. Agar tetap tune in dengan tren masa kini. Kebanyak milenial belum menempatkan kebutuhan hunian menjadi prioritas. Hal ini sejalan dengan studi yang dirilis URBANtown by PT PP Urban, yang menunjukkan bahwa lebih dari 43 persen hunian di Jakarta berstatus hak milik.
Bukan tanpa alasan, sisanya yang lain, lebih dari 56 persen hanya berstatus mengontrak/ngekos di Jakarta. Ini merupakan logika sederhana, milenial yang baru saja menapaki karir, memiliki gaji rata-rata Rp 7 jutaan per bulan. Dengan asumsi pemenuhan gaya hidup kekinian, maksimal yang bisa dialokasikan untuk saving sebatas di angka Rp4 juta. Itu pun di luar kebutuhan insidentil yang seringkali membuat pendapatan milenial menguap begitu saja setiap bulannya.
Padahal, untuk memilki rumah sendiri di Jakarta atau daerah terdekat di sekitarnya, paling tidak membutuhkan dana sebesar Rp350 juta. Itu sama dengan cicilan senilai sekitar Rp8 juta setiap bulan. Artinya, milenial dengan gaji Rp7 juta, perlu bekerja paling tidak dua kali lebih keras untuk mampu memiliki rumah sendiri. Ini alasan yang membuat kontrakan dan kos-kosan menjadi solusi paling praktis.
Kalau tidak ada uang yang jatuh dari langit atau warisan orangtua, atau developer yang berani berinovasi menyediakan hunian terjangkau, sampai kapan para milenial harus ngontrak?
Naskah: Fauzan Fadli
Leave a Comment