
Foto: Ilustrasi pameran properti di sebuah mal
Milenial, menjadi istilah kekinian yang semakin banyak digunakan belakangan ini. Perumpamaan yang merujuk pada penghitungan tahun masehi. Istilah yang kemudian diartikan sebagai tatanan baru dalam kasta generasi. Milenial kemudian banyak digunakan untuk mewakili anak-anak muda yang melek gadget, mereka yang tengah menjajaki karir dan dunia kerja.
Dominasi milenial dalam tatanan sosio-kultural saat ini tampak signifikan. Ini bukan hanya karena jumlah mereka yang lebih masif dibanding generasi lainnya, tetapi juga eksposur sosial media yang kian tajam. Medium ini menjadikan eksistensi milenial lebih nampak signifikan. Namun, di lain sisi, mereka yang mengaku milenial, juga diam-diam punya kegelisahannya sendiri.
Beberapa isu yang walau tidak muncul ke permukaan, sebenarnya telah lama menjadi hal yang pada akhirnya akan menjadi masalah besar bagi milenial. Terlepas dari urusan jodoh dan percintaan, isu lain yang lebih besar adalah kepemilikan hunian. Milenial seringkali luput betapa pentingnya memiliki dan mulai memikirkan masa depan.
Fakta membuktikan, status kepemilikan hunian di Jakarta menunjukkan bahwa lebih dari setengah warga di Jakarta tidak memiliki rumah di kotanya sendiri. Dari sumber yang dirilis oleh URBANtown by PT PP URBAN, 43.91 persen jumlah hunian di Jakarta berstatus hak milik, sementara itu, sisanya punya status beragam. Mulai dari kontrak, sewa, rumah dinas, rumah bersama, dan lain-lain.
Jika kita mengambil asumsi harga rumah paling terjangkau di Jakarta berada di angka Rp350 juta, maka dapat dipastikan hampir semua milenial dinilai tidak akan mampu membelinya. Walau dengan cara bayar cicilan, milenial akan dibebani paling tidak Rp8 jutaan setiap bulannya untuk membayar cicilan rumah. Skema ini yang membuat tren ngekos/ngontrak di Jakarta akan terus ada, paling tidak sampai lima tahun ke depan. Jadi, masih mau mimpi punya rumah sendiri, guys?
Naskah: Fauzan Fadli
Leave a Comment