Hari Kesehatan Mental Sedunia 2022

Athome.id Dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia 2022, Emotional Health For All (EHFA) bekerjasama dengan Yayasan Kesehatan Umum Kristen (YAKKUM) dan Black Dog Institute mengumumkan akan dilaksanakan ‘Deklarasi Relio-Mental Health Indonesia’, yang merupakan acara deklarasi kesehatan mental lintas agama guna mengatasi tantangan kesehatan mental yang terjadi di Indonesia.

Project Leader & Founder, EHFA dan President Indonesian Association for Suicide Prevention Dr. Sandersan (Sandy) Onie, mengatakan, “Indonesia memiliki masalah kesehatan mental yang cukup tinggi. Berdasarkan penelitian terbaru, kami  menemukan bahwa tingkat bunuh diri di Indonesia yang sebenarnya mungkin setidaknya 4 kali lipat dari angka yang dilaporkan, dan jumlah percobaan bunuh diri setidaknya 7 kali lipat dari jumlah tersebut.

 Saat ini di Indonesia hanya terdapat 4.400 psikolog dan psikiater dengan jumlah populasi lebih dari 250 juta orang. Dengan adanya pandemi COVID-19, menurut Dr. Sandersan, kondisi kesehatan mental dari dampak pandemi tidak diketahui.

 Lebih lanjut Dr. Sandersan menjelaskan, “Kesehatan mental dan bunuh diri berdampak besar pada ekonomi, dengan perkiraan biaya Rp. 582 triliun per tahun dalam kematian dan hilangnya produktivitas, sementara kemajuan untuk penanganan kesehatan mental berjalan lambat.”

Terkait dengan penanganan kesehatan mental yang lambat, stigma yang menjadi isu utama adalah dimana masyarakat cenderung mendiskriminasi orang dengan  gangguan   kesehatan mental dengan menganggap sebagai “gila atau tidak waras”. Selain itukeluarga merasa malu untuk mencari bantuan ke tenaga profesional dalam berkonsultasi mengenai masalah kesehatan mental yang dihadapi. “Rasa malu dan diskriminasi merupakan tantangan terbesar terhadap sebuah negara yang sehat,” ujar Dr. Sandersan.

Deklarasi Relio-Mental Health

Dalam penanganan masalah kesehatan mental melalui pendekatan agama, Dr. Sandersan mengutarakan, “Kami sering  menemukan kejadian diskriminasi yang didasari pada keyakinan yang keliru tentang agama. Misalnya, orang dengan gangguan kesehatan mental dianggap karena kurang imannya. Inilah sebabnya mengapa meskipun bertahun-tahun dilakukan  pendidikan tentang kesehatan mental,  namun kemajuannya sangat lambat.

Masih banyak orang dengan gangguan kesehatan mental yang enggan atau bahkan tidak akan mengunjungi psikolog, melainkan justru berbicara dengan pemuka agama. “Hal ini terlebih karena kita semua menyadari bahwa agama memainkan peran yang besar di Indonesia,” ungkap Dr. Sandersan.

Oleh karena itu, EHFA memutuskan untuk mengambil pendekatan radikal mengenai edukasi kesehatan mental yaitu melalui deklarasi pertemuan antar umat agama yang diusung pada tanggal 2-3 Juni 2022 di Lombok sebagai bagian dari acara G20. Deklarasi yang juga disebut sebagai “Lombok Declaration” ini bertujuan untuk menegaskan bahwa setiap orang di Indonesia, termasuk para psikolog, guru, keluarga, pelajar dapat mencari bantuan kesehatan mental tanpa harus didiskriminasi atau distigmatisasi.

Melalui deklarasi ini, tujuh perwakilan tokoh agama KH Miftahul Huda (Majelis Ulama Indonesia), Rm. Y. Aristanto HS, MSF (Komisi Waligereja Indonesia), drg. I Nyoman Suarthanu. MAP KH Sarmidi Husna (Pengurus Besar Nadhlatul Ulama), drg. I Nyoman Suarthanu. MAP (Parisada Hindu Darma), I Wayan Sianto (Perwakilan Walubi Indonesia), Prof. Dr. Musdah Mulia, M.A (International Center for Religions and Peace), Pdt Jackelyn Manuputty (Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia) dan Pdt Ary Mardi Wibowo (Jakarta Praise Church Community) mempersatukan pandangannya terhadap kesehatan mental dengan mentandatangani “Deklarasi Relio-Mental Health”.

Berdasarkan isi deklarasi tersebut, telah dinyatakan bahwa pemuka dari lima kelompok agama setuju bahwa masalah kesehatan mental bukanlah hal yang memalukan, serta mengedepankan pentingnya peran lingkungan dan keluarga dalam mendampingi orang dengan masalah kesehatan mental. Di saat yang sama, deklarasi ini juga mendorong lembaga keagamaan dan instansi pemerintah seperti Kementerian untuk berkolaborasi dalam meningkatkan pelayanan dan penanganan masalah kesehatan mental serta pencegahan bunuh diri.

Aktivis HAM dan penggiat inklusi Dr. Bahrul Fuad, M.A. juga menyebutkan tentang betapa pentingnya pendekatan agama terhadap pandangan disabilitas di Indonesia, karena keikutsertaannya dalam merancang Fikih Disabilitas NU dan Lombok Declaration. “Selama ini berbagai agama mempercayai bahwa prilaku bunuh diri merupakan perbuatan dosa besar. Sehingga mereka yang mencoba bunuh diri mengalami berbagai jenis stigma dan dipandang buruk dan orang yang meninggal karena bunuh diri dilabeli sebagai orang yang tidak bermoral atau memiliki karakter jiwa rendah dan tidak termaafkan. Beberapa temuan ilmiah menunjukan bahwa prilaku bunuh diri banyak disebabkan oleh situasi di luar individu yang menyebabkan keguncangan mental atau jiwa dan mendorong seseorang untuk melakukan prilaku bunuh diri,” ujar Dr. Bahrul.

Lebih lanjut Dr. Bahrul menambahkan, “Di sisi lain,  ajaran spiritualitas dan akhlak pada setiap agama yang diejawantahkan dalam sikap sebagai orang beriman seperti; ikhlas, bersykur, dan menerima ketentuan dari Allah SWT (taqdir), serta tindakan ibadah ritual seperti shalat, puasa, dan berdzikir. Islam mempercayai bahwa sikap dan tindakan tersebut jika dilakukan secara bersungguh – sungguh, maka akan membawa seseorang pada tujuan kehidupan yaitu ketenangan jiwa.”

“Pada konteks ini, agama dan tokoh agama memiliki peran yang sangat sentral dalam mendorong pentingnya merawat kesehatan mental dan mencegah prilaku bunuh diri, “jelas Dr. Bahrul menutup webinar pada, Senin (10/10) lalu.

Tags:
Leave a Comment