Athome.id – Dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan dua kanker tertinggi pada perempuan yaitu kanker payudara dan kanker serviks, Yayasan Kanker Indonesia bekerjasama dengan MSD Indonesia menggelar webinar bertajuk “Imunoterapi Menjadi Harapan Baru Melawan Dua Kanker Ganas Tertinggi Pada Perempuan di Indonesia”. Menghadirkan dua narasumber, Prof. DR. dr. Noorwati Sutandyo, SpPD-KHOM dan dr. Nadia Ayu Mulansari, SpPD, KHOM.
Menurut laporan Global Burden of Cancer Study (Globocan) 2020, jumlah kasus baru kanker kanker payudara dan kanker serviks di Indonesia mencapai lebih 102.000 kasus dengan lebih dari 43.000 kematian.
Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia, Prof. DR. dr. Aru Wisaksono Sudoyo, SpPD-KHOM, FINASIM, FACP mengatakan, “Masih tingginya kejadian kanker payudara dan kanker serviks pada perempuan di Indonesia perlu disikapi secara serius di Indonesia, melalui peningkatan pengetahuan tentang faktor risiko dan pencegahannya, serta opsi terapi sistemik yang tersedia untuk penanganan terbaik.”
George Stylianou, Managing Director MSD Indonesia, menjelaskan, “Kami merasa terhormat memiliki kesempatan ini bersama dengan Yayasan Kanker Indonesia, untuk meluncurkan kampanye edukasi mengenai kanker, Berbagi #HarapanBaru. Bulan ini, saat para penyintas dirayakan dan dihormati, penting untuk mengingat peran penting memiliki harapan dalam upaya melawan kanker. Harapan adalah pendorong utama untuk menjaga semangat mempertahankan hidup dan keinginan untuk hidup.”
“Di MSD, kami berkomitmen untuk memberikan harapan kepada pasien kanker melalui penelitian dan obat inovasi kami di bidang onkologi. Kami bekerja dengan urgensi untuk mengutamakan pasien dan memastikan obat kanker inovatif kami dapat diakses oleh pasien yang membutuhkan. Kami masing-masing didorong oleh visi bersama untuk memberikan harapan kepada semua pasien kanker—harapan akan lebih banyak cara untuk mengobati kanker mereka, harapan akan lebih banyak kualitas dalam hidup mereka, harapan untuk lebih banyak waktu,”jelas George Stylianou.
Prof. DR. dr. Noorwati Sutandyo, SpPD-KHOM mengatakan, “Kejadian kanker payudara dan kanker serviks masih sangat tinggi, sehingga kaum perempuan perlu lebih memperhatikan diri untuk mengurangi risiko terkena kanker.”
Untuk mengurangi risiko kanker, dapat dilakukan dengan berhenti merokok, aktif secara fisik, makan makanan sehat, hindari konsumsi alkohol, hindari terlalu banyak paparan sinar matahari, menyusui, mengurangi polusi udara, vaksinasi Hepatitis B dan HPV, deteksi dini kanker payudara dan kanker serviks seperti Sadanis di fasilitas kesehatan dan skrining IVA.
Terkait kanker payudara, Prof. Noorwati Sutandyo menjelaskan, terdapat beberapa sub-tipe kanker payudara. Antara lain, kanker payudara triple negatif (TNBC) yang merupakan penyakit heterogen yang sangat kompleks dan secara historis memiliki pilihan pengobatan yang terbatas.
Nama ‘Triple Negatif’ menandakan bahwa sel kanker telah diuji untuk tiga komponen molekuler sel kanker payudara — reseptor untuk hormon estrogen dan progesteron, dan protein yang disebut faktor pertumbuhan epidermal manusia, atau HER2. “Kanker payudara triple-negatif didefinisikan sebagai reseptor progesteron-negatif, reseptor estrogen-negatif dan HER2-negatif,” ujar Prof. Noorwati Sutandyo.
Tanda dan gejala kanker payudara triple negatif
Sebanyak 15-20% dari seluruh kasus kanker payudara di dunia adalah sub-tipe TNBC. Tanda dan gejala kanker payudara triple-negatif sama dengan sub-tipe kanker payudara lainnya. “Tanda-tandanya dapat muncul sebagai benjolan yang lebih sering keras di payudara, tidak nyeri dan tidak teratur, tetapi juga bisa lunak, bulat dan menyakitkan,” ungkap Prof. Noorwati Sutandyo. Tanda-tanda lainnya termasuk pembengkakan payudara, pembengkakan atau benjolan di bawah lengan atau di tulang selangka, lesung pada kulit, cairan keluar dari puting, puting masuk ke dalam, serta perubahan kulit pada payudara atau puting, termasuk kemerahan, kekeringan, penebalan atau pengelupasan.
Dalam mendiagnosis TNBC, biasanya dilakukan dengan Mammografi untuk mengambil gambar payudara, dan dengan MRI (magnetic resonance imaging) untuk membuat gambar detail payudara dengan resolusi yang jauh lebih besar. Setelah dilakukan diagnosis, selanjutnya adalah biopsi untuk mengambil sampel sel yang mencurigakan dari payudara untuk dianalisis.
Jenis utama pengobatan melawan TNBC termasuk operasi, kemoterapi, radiasi dan imunoterapi. Prof. Noorwati Sutandyo menambahkan, “TNBC memiliki kemungkinan tinggi kekambuhan penyakit dan perkembangan penyakit yang cepat meskipun dilakukan pengobatan
sistemik yang memadai, dan imunoterapi merupakan pilihan baru dalam penanganan penyakit TNBC yang ganas ini, sebab imunoterapi dapat menahan perkembangan kanker dan kelangsungan hidup pasien – sehingga memberikan harapan baru bagi pasien.”
Tingkat kelangsungan hidup lima tahun untuk seseorang dengan TNBC yang belum menyebar di luar payudara, adalah 91 persen. Sementara kanker yang telah menyebar ke kelenjar getah bening terdekat atau daerah terdekat, tingkat kelangsungan hidup lima tahun adalah 65 persen. Sedangkan kanker yang metastasis seperti ke tulang, paru-paru atau hati, kelangsungan hidup adalah 11 persen.
Infeksi jenis HPV sebabkan Kanker serviks
Jenis kanker ganas pada perempuan setelah kanker payudara adalah kanker serviks, khususnya yang persisten dan telah mengalami kekambuhan atau metastasis. Menurut laporan Global Burden of Cancer Study (Globocan) 2020, jumlah kematian akibat kanker payudara sebanyak 22.430 (34% dari 65.858 kejadian baru) sedangkan kematian akibat kanker serviks sebesar 21.003 (57% dari 36.633 kejadian baru).
Kanker serviks paling sering didiagnosis pada wanita berusia antara 35 dan 44 tahun dengan usia rata-rata saat didiagnosis adalah 50 tahun. Lebih dari 20% kasus kanker serviks ditemukan pada wanita di atas 65 tahun.
Dr. Nadia Ayu Mulansari, SpPD-KHOM menjelaskan, “Kanker serviks lebih tinggi tingkat mortalitasnya dibandingkan kanker payudara, terutama karena tingkat skrining yang rendah sehingga kanker serviks ditemukan sudah pada stadium lanjut.”
Menurut Dr. Nadia, hampir semua kanker serviks disebabkan oleh infeksi jenis human papillomavirus (HPV) risiko tinggi tertentu. HPV dapat ditularkan jika terjadi kontak kulit-ke-kulit di area genital. Kanker serviks dapat diobati dengan beberapa cara, tergantung pada jenis kanker serviks dan seberapa jauh penyebarannya, dengan cara operasi, kemoterapi, terapi radiasi maupun imunoterapi.
Meski sudah diobati, kanker serviks dapat kambuh lagi atau bermetastasis.Kekambuhan kanker serviks dapat berkembang setelah selesainya pengobatan awal. Tujuan pengobatan adalah untuk menghilangkan semua kanker, tetapi terkadang sel kanker tidak terdeteksi, atau sel kanker baru berkembang. “Akibatnya, kanker berpotensi kembali ke leher rahim atau daerah sekitarnya, atau ke bagian tubuh lainnya, sehingga harus dipantau secara berkala,” jelas Dr. Nadia. Jika kekambuhan kanker serviks terdeteksi, pengobatan yang direkomendasikan biasanya ditentukan berdasarkan kombinasi beberapa faktor, termasuk pengobatan awal pasien, lokasi kekambuhan, dan kesehatan pasien secara keseluruhan.
Adapun untuk pengobatan sistemik terkini, imunoterapi, telah memberikan pilihan baru untuk merawat pasien kanker serviks yang mengalami kekambuhan dan metastasis. “Imunoterapi telah secara khusus menunjukkan aktivitas luas pada kanker serviks, dan memberikan harapan lebih lanjut untuk pilihan pengobatan baru dengan kemanjuran yang lebih besar dan profil keamanan yang dapat dikelola,” ujar dr. Nadia.
Mulai tahun 2022 di Indonesia, imunoterapi bagi pengobatan kanker serviks telah tersedia, khususnya bagi pasien yang didiagnosis dengan kanker serviks stadium lanjut.
“Dalam perjuangan melawan kanker, semangat, harapan, kesehatan emosional dan mental perlu dijaga pada diri pasien, dengan dukungan keluarga dan lingkungan, serta tertib dalam menjalankan terapi dan pengobatan kanker sesuai arahan dokter, sehingga kualitas dan harapan hidup dapat terus terjaga,” tutup Prof. Noorwati.
Leave a Comment