Pekerjaan Rumah Tim Ekonomi Kabinet Jokowi 2.0

  • Home
  • Bisnis
  • Pekerjaan Rumah Tim Ekonomi Kabinet Jokowi 2.0

Foto: Poskotanews.com

Athome.id – Sinyal datangnya ancaman resesi ekonomi global sudah digaungkan oleh berbagai lembaga kelas dunia, mulai dari IMF, World Bank, ADB, OECD, dan UNCTAD. Isyarat resesi dunia sudah mulai terlihat di banyak negara, dengan menurunnya aktivitas perdagangan dunia yang tecermin dari turunnya harga komoditas dunia. Adanya penurunan bunga oleh The Fed dan terjadinya inversi imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) yang sudah terjadi sejak awal tahun juga dapat menjadi indikator adanya kemungkinan resesi ekonomi.

Perang dagang AS-China yang disertai dengan perang teknologi dan perang mata uang mengakibatkan penurunan industri, perdagangan, dan belanja modal yang diikuti oleh penurunan konsumsi swasta, alhasil ekonomi global mengalami penurunan seperti pada laporan IMF yang memperkirakan hanya bisa tumbuh 3 persen. Ditambah konfrontasi militer AS dan Iran yang dapat menyebabkan naiknya harga minyak internasional yang juga dapat menyulut resesi.

Faktor lain yang dapat memicu krisis adalah kesepakatan Uni Eropa mengenai Brexit, yang mengakibatkan negara-negara besar di benua biru masuk ke dalam resesi yang dapat menjalar ke benua lainnya. Dibarengi tanda melambatnya pertumbuhan China, agenda restrukturisasi Argentina, ketegangan dagang Jepang-Korea, agenda Pemilu AS 2020, protes di HongKong, hingga krisis Khasmir, semuanya menguatkan gejala adanya resesi secara parsial.

Neraca Perdagangan

Indonesia tidak luput dari efek perang dagang karena AS dan China menjadi mitra dagang terbesar Indonesia, berimbas pada performa neraca perdagangan yang hingga September 2019 masih defisit, tertekannya neraca transaksi berjalan, bergejolaknya nilai tukar, serta ancaman inflasi barang impor. Salah satu kunci untuk membenahi neraca perdagangan adalah mengembangkan industrialisasi di hulu agar tidak jamak bergantung pada produk impor.

81 proyek strategi nasional baru rampung senilai Rp390 triliun dari total rencana Rp2.860 triliun, beberapa telat selesai karena terkendala eksekusi. Puluhan proyek yang sudah terbangun terlihat belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh industri dalam negeri, yang tecermin dari pertumbuhan ekonomi yang masih statis dan defisit neraca perdagangan yang membengkak tahun lalu sebagai rekor terburuk sepanjang sejarah.

Di tengah pembangunan infrastruktur yang masif, industri baja dalam negeri justru tersapu derasnya banjir impor, walhasil BUMN baja Indonesia mesti direstrukturisasi. Dana investasi infrastruktur RPJMN 2020-2024 Rp6.400 triliun harus dapat dipastikan nanti menyokong pertumbuhan industri nasional yang kuat. Infrastruktur yang buruk merupakan obstruksi bagi masuknya investasi, karena itu pembangunan harus dilakukan dengan efektif sehingga memiliki daya pengganda yang terasa ke sendi-sendi perekonomian bangsa.

Foto: Aktual.com

Risiko Finansial

Bank Dunia dalam International Debt Statistic 2020 menunjukkan risiko keuangan kelompok negara berpenghasilan rendah dan menengah meningkat beberapa tahun belakangan, yang bila tidak dimitigasi dengan rancak akan menimbulkan riak gagal bayar yang akan memperburuk perekonomian. Pada 2018, rasio utang luar negeri terhadap pendapatan nasional Indonesia lebih tinggi dibanding Thailand dan India, serta rasio utang luar negeri Indonesia terhadap penerimaan ekspor lebih tinggi di atas Thailand, India, dan Vietnam. Indonesia memiliki problema serius dengan penerimaan ekspor yang rendah dibandingkan kewajiban melunasi utang luar negeri, untuk itu harus sesegera mungkin mengurangi utang baru agar tak menimbulkan kerentanan bagi perekenomian.

Studi McKinsey menunjukkan risiko utang perusahaaan Indonesia di bidang infrastruktur meningkat. Ulasan Juli 2019 mengungkapkan ada tekanan pada sektor keuangan yang meningkat akibat utang korporasi yang buntal. Interest Coverage Ratio di bawah 1,5 kali menunjukkan kapasitas perusahaan membayar bunga rendah, dan Indonesia memiliki rasio sebesar 32 persen dari utang jangka panjang korporasi, ketiga tertinggi setelah India dan China.

Lembaga pemeringkat investasi Moody’s juga baru saja merilis perincian yang memperingatkan Indonesia dan India sebagai 2 dari 13 negara di Asia Pasifik yang memiliki risiko gagal bayar korporasi paling tinggi. Banyak perusahaan yang memiliki utang berjibun, terutama yang bergantung dengan harga komoditas akan mengalami penurunan penerimaan sangat tajam sehingga memiliki risiko gagal bayar terbesar, yang juga berpotensi menimbulkan dampak sistemik terhadap sektor lainnya. Dalam pernyataan September 2019, Moody’s menyimpulkan perbankan Asia Pasifik menghadapi naiknya risiko utang korporasi karena melemahnya kondisi makroekonomi.

Bank of International of Settlement menghitung kerentanan utang korporasi via indikator Credit to GDP gap untuk mengukur besarnya kredit terhadap gap antara produk domestik bruto aktual dengan trennya, adapun skor Indonesia mencapai 5,4 yang artinya ada kerentanan, dan gap yang relatif besar ini mengindikasikan utang korporasi tak cukup optimal mendorong pertumbuhan produksi atau utang tersebut hanya untuk menutup utang yang akan jatuh tempo. Adapun data 2010-2018 menunjukkan penggunaan utang luar negeri untuk tujuan refinancing tumbuh rata-rata 29 persen per tahun.

Adapun salah satu penyebab krisis keuangan yang pernah dialami Indonesia pada krisis moneter yang lampau adalah ketidakseimbangan tenor pinjaman dibandingkan penggunaan pinjaman. Terkait itu, penggunaan utang korporasi wajib dimonitor sebagai upaya antisipasi gagal bayar berlanjut. Perusahaan harus mempertahankan agar pendapatan bersih tak turun hingga 25 persen, selain itu perusahaan sedapat mungkin berkreasi dan bertransformasi secara digital agar dapat mempertahankan pangsa pasarnya serta memiliki fleksibilitas finansial dan operasional.

Daya Saing

Sebanyak 16 paket kebijakan yang sudah diterbitkan sejak September 2015 dalam 4 tahun terakhir terlihat belum mampu mengangkat daya saing perekonomian Indonesia. Dalam penelitian World Economy Forum tentang Indeks Daya Saing Global tahun 2019, Indonesia melingsir 5 peringkat menjadi di posisi 50 di antara 140 negara, dengan catatan kemampuan inovasi yang mendapat poin terendah. Hal ini harus segera diperbaiki melalui peningkatan mutu akademik, kebebasan berpikir, dan perlindungan hak cipta.

Dalam Rapat Terbatas Presiden di awal September lalu, dibahas mengenai risalah dari Bank Dunia yang menyebutkan tidak ada satu pun dari 33 perusahaan asal China yang merelokasi bisnisnya memilih Indonesia sebagai destinasi pada Juni-Agustus 2019, justru menjatuhkan pilihan paling banyak yaitu sebanyak 23 perusahaan ke negara Vietnam. Tidak masuknya ke Indonesia disebabkan oleh beberapa penghambat seperti tidak harmonisnya peraturan pusat dan daerah, kepastian hukum dan keamanan, dan kurangnya tenaga kerja ahli di Indonesia.

Laporan e-Conomy Sea 2018 pada awal Oktober ini menyingkapkan nilai ekonomi digital Indonesia diperkirakan mencapai Rp567 triliun pada 2019, atau mendominasi sekitar 40 persen dari agregat nilai ekonomi digital di Asia Tenggara. Ini tentu berpeluang menjadi lokomotif perekonomian seiring perkembangannya yang kian laju. Regulasi yang kondusif perlu lekas dibuat diikuti pengembangan peta jalan industri digital disertai insentif terkait.

Indonesia sedang menikmati bonus demografi yang ditandai dengan pencari kerja usia muda dan produktif yang jumlahnya sebesar 2 juta setiap tahunnya. Sementara itu, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi hanya sanggup menyediakan sekitar 200 ribu tenaga kerja. Adapun tingkat pengangguran pendidikan tinggi dan menengah cenderung meningkat, sekitar 9 persen sepanjang periode 2015-2018, dan tingkat penggangguran SMK naik menjadi hampir 21%. Padahal, sejak 1 dekade lalu, dana pendidikan sudah dialokasikan sebanyak 20% dari APBN.

Indonesia harus bersaing keras dan cerdas agar dapat menjadi tujuan investasi yang bisa membuka lapangan kerja berkualitas bagi milenial yang kini mendominasi pasar tenaga kerja yang jumlahnya sekitar 88 juta atau sepertiga penduduk Indonesia. Pemerintah perlu meningkatkan lagi kapabilitas sumber daya manusia, seperti memperbaiki gizi balita, meningkatkan pendidikan dasar, dan keahlian tenaga kerja. Selain itu perlu juga untuk menstimulasi pendalaman pasar keuangan agar dapat membuka ruang untuk investasi.

Tantangan ke Depan

Perseteruan dagang oleh AS dan China menurunkan volume perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia. Indonesia setidaknya terkena resultan tidak langsung berupa penurunan harga komoditas dan energi yang disebabkan ekonomi China yang melambat. Pemerintah harus fokus pada kebijakan investasi, produktivitas, dan pertumbuhan riil, serta menjadikan pertumbuhan lebih inklusif. Untuk itu, perlu mengoordinasikan kebijakan moneter dan fiskal untuk menggenjot permintaan dalam jangka pendek. Prioritas kebijakan menjadi sangat esensial untuk dikoordinasikan, karena tidak semua strategi bisa digunakan saat ini disebabkan keterbatasan ruang moneter dan fiskal.

Deselerasi pertumbuhan ekonomi terjadi karena iklim dunia bisnis yang terganggu penurunan daya beli. Indonesia harus cepat merestorasi soal struktural ekonomi, terlebih penerimaan pajak dan penerimaan bukan pajak yang melorot signifikan dibanding 2018 karena penurunan harga komoditas. Defisit anggaran yang meningkat dan pendapatan negara yang melandai membutuhkan kebijakan fiskal yang kontra-siklus sehingga pertumbuhan tetap kuat dari paparan eksternal.

Kebijakan fiskal akan menjadi efektif ketika kualitas anggaran diperbaiki dengan mengalokasikan anggaran lebih banyak pada belanja modal. Kebijakan fiskal yang ekspansif dan kebijakan moneter yang longgar diperlukan untuk menjaga momentum ekonomi. Dan yang lebih penting adalah meningkatkan pendapatan masyarakat, serta mendorong ekspor dan investasi untuk menggenjot daya beli.

Sektor konsumsi sebagai penyelamat ekonomi Indonesia harus dijaga, disertai kebijakan yang memberikan perlindungan sosial-ekonomi bagi rakyat jika terjadi resesi. Dan juga pemerintah harus membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya terutama bagi sektor informal yang memberikan kesempatan kepada sektor-sektor ekonomi rakyat yang tahan dengan resesi.

Selamat Bekerja (Sama)

Reformasi jangka panjang dibutuhkan untuk menanggulangi faktor-faktor struktural ekonomi demi meningkatkan penerimaan negara. Dengan menghapus aturan yang berbelit, maka arus investasi masuk dipastikan membubung dan Indonesia dapat menarik manfaat dari perang dagang AS-China.

The United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) pada 2018 mengatakan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang harusnya menikmati manfaat dari perang dagang. Perdagangan bebas yang ada sekarang harus dapat melecut pertumbuhan industri dan berdampak praktis konstruktif terhadap investasi agar dapat menjadi ujung tombak perekonomian, untuk itulah diperlukan paket deregulasi dan debirokratisasi yang revolusioner.

Pada kabinet jilid 2 ini sangat diperlukan adanya sinergi dan kolaborasi antarmenteri dan lintas departemen agar dapat saling menunjang dan menciptakan nilai tambah yang berkualitas bagi perekonomian Indonesia. Kabinet bukan hanya nomenklatur hasil kompromi, tapi juga dapat memanfaatkan momen kolaborasi. Selamat bekerja (sama) untuk para menteri-menteri baru!

 

David Cornelis Mokalu

Catatan Ekonomi & Bisnis

Tags:
Leave a Comment