
Foto: Dok.Itech
Dalam setengah windu terakhir, anak muda Indonesia diperdengarkan dua kali kata revolusi, yaitu mental dan industri. Kata revolusi adalah kata yang hampir terdengar usang di kampus, kini mulai bangkit lagi dipicu oleh kebangkitan pemuda-pemudi penerobos pengusung digitalisasi. Yang terdengar mengerikan dari era baru revolusi industri 4.0 adalah berkurangnya jumlah tenaga kerja karena otomatisasi oleh robot dan penerapan aplikasi kecerdasan buatan pada berbagai bidang industri. Organisasi Buruh Internasional dalam riset 2016 merilis sekitar 242 juta atau sebanyak 56% buruh di Asia Tenggara akan digantikan oleh robot dalam era otomatisasi industri.
Survei Keterampilan Orang Dewasa 2016 menyatakan kemampuan matematika dan literasi lulusan kampus Jakarta tak jauh berbeda dengan siswa sekolah menengah pertama di Eropa. Survei kemampuan membaca, berhitung, dan memecahkan masalah oleh anak muda Indonesia pada posisi ke-31 dari 34 negara. Indonesia di peringkat ke-87 dalam Indeks Inovasi Global menempati peringkat di bawah mayoritas negara-negara Asia, sementara Singapura di peringkat 6, Malaysia di 35, dan Vietnam di 47. Indonesia juga berada di peringkat ke-62 dari 63 negara dalam kompetisi digital.
Kalau hingga sekarang kita belum memikirkan tentang revolusi industri, maka sesungguhnya sudah telat selama 7 tahun lamanya dihitung sejak kemunculan revolusi industri 4.0 dimulai di Jerman tahun 2011. Kala itu, pemerintah Jerman mengumumkan kepada publik akan menggelontorkan dana sebesar 400 juta euro untuk penelitian dan pengembangan industri 4.0. Di Indonesia, dana penelitian hanya di bawah 1 persen dari produk domestik bruto, bandingkan dengan Malaysia yang sebesar 1,25 persen, China 2 persen, Jerman 2,9 persen, Jepang 3,6 persen, dan Korea Selatan 4 persen.
Saat ini, modal sumber daya manusia sudah tersedia dalam jumlah yang banyak dengan cara merevitalisasi dan mengoptimalkan potensi pelajar, serta mengoptimalkan dana non-APBN. Diharapkan perusahaan swasta dapat ikut berperan dalam menyokong pengembangan riset nasional dan terlibat dengan mendapatkan keringanan pajak apabila membuka pelatihan dan pendidikan vokasi untuk keahlian terapan yang baru. Kita harus berfokus melampaui sistem industri siber-fisik, interoperabilitas yang tersambung dengan internet, transparansi informasi, asistensi teknologi, hingga sistem desentralisasi. Pemerintah dan kampus harus merombak sistem pendidikan dan memperkuat pusat penelitian berlandaskan kreativitas dan inovasi, sesuai perkembangan perubahan teknologi dan kemampuan yang dibutuhkan, serta pelatihan kewirausahaan sesuai dengan permintaan industri.
Revolusi bukan sesuatu yang harus ditakuti atau dihindari, peradaban manusia berkembang maju karena berbagai revolusi. Yang ditakutkan Albert Einstein adalah teknologi kelak akan menggantikan interaksi antar manusia dan dunia akan memiliki generasi yang idiot. Di lain sisi, prediksi Fisikawan dan Astronom Michio Kaku mengatakan bahwa di masa datang, internet mungkin akan menjadi jaringan otak yang bisa diberi memori, perasaan, serta sensasi.
Perlu melatih ulang pekerja yang terpinggirkan untuk meningkatkan keterampilan dan pendidikan yang tepat guna. Ke depan, pekerjaan yang masih belum bisa diambil alih oleh mesin dan robot adalah pekerjaan yang membutuhkan kemampuan dalam beradaptasi, melakukan analisis, memecahkan masalah, mengambil keputusan, kolaborasi, kepemimpinan, dan kreativitas serta inovasi. Pemerintah dan kampus sebagai agen pemerataan pembangunan harus mampu berperan dalam mendukung gerakan anti ketimpangan, hasil dari kampus mesti diarahkan untuk menghasilkan inovasi konkret yang bisa memperkuat daya saing. Program dan lulusan kampus harus disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan seperti teknologi informasi, digital, dan pendidikan pelatihan keterampilan digital. Kampus harus mampu proaktif memberi solusi mewujudkan pembangunan yang lebih berkualitas.
Sebuah Catatan Pebisnis
Jakarta, 10 September 2018
David Cornelis Mokalu
Leave a Comment